Jumat, 05 Oktober 2007

gizi anak

Anemia Gizi Anak Salah Satu Masalah Gizi Utama Di Indonesia Print E-mail
05 Aug 2005
Anemia gizi besi di masyarakat atau dikenal dengan kurang darah, merupakan salah satu masalah gizi utama di Indonesia yang dapat diderita oleh seluruh kelompok umur mulai bayi, balita, anak usia sekolah, remaja, dewasa dan lanjut usia.

Berbagai kajian ilmiah menunjukkan bahwa penderita gizi buruk juga menderita kekurangan zat besi yang berdampak negatif terhadap pertumbuhan dan perkembangan anak. Secara klinis, anemia gizi dapat dikenali dengan adanya gejala 5 L yaitu lesu, lemah, letih, lelah dan lalai. Masalah anemia gizi dapat diketahui melalui pemeriksaan haemaglobin dalam darah.

Demikian disampaikan Direktur Gizi Masyarakat Dr. Rachmi Untoro, MPH di Jakarta, 4 Agustus 2005 dalam pembukaan seminar sehari bertajuk Dampak Anemia Gizi Besi Terhadap Kecerdasan Anak. Acara ini berlangsung dalam rangkaian peringatan Hari Anak Nasional (HAN) 2005.

Menurut Dr. Rachmi Untoro, anemia gizi merupakan masalah yang harus ditanggulangi bersama dengan dukungan kemitraan Lintas Program dan Lintas Sektor terkait, selain itu juga keterlibatan pihak Swasta, LSM, tokoh masyarakat dan tokoh agama. Oleh karena itu dalam rangka HAN 2005 kita bersama berharap dapat meningkatkan kerjasama dan kemitraan dari berbagai pihak terkait agar anak-anak kita tumbuh menjadi generasi penerus bangsa yang berkualitas.

Berdasarkan Survei Kesehatan Rumah Tangga tahun 2001, prevalensi anemia pada balita 0-5 tahun sekitar 47%, anak usia sekolah dan remaja sekitar 26,5% dan Wanita Usia Subur (WUS) berkisar 40%. Sementara survei di DKI Jakarta tahun 2004 menunjukkan angka prevalensi anemia pada balita sebesar 26,5% dan pada ibu hamil 43,5%. Melihat beberapa hasil survei ini, anemia gizi masih merupakan masalah gizi utama pada anak-anak, ibu hamil dan wanita pada umumnya.

Jenis dan besaran masalah gizi di Indonesia tahun 2001 – 2003 menunjukkan 2 juta ibu hamil menderita anemia gizi, 350 ribu berat bayi lahir rendah setiap tahun, 5 juta balita gizi kurang, 8,1 juta anak dan 3,5 juta remaja dan wanita usia subur menderita anemia gizi besi, 11 juta anak pendek, dan 30 juta kelompok usia produktif Kurang Energi Kronis.

Anemia gizi besi disebabkan oleh hubungan timbak balik antara kecukupan intake gizi terutama zat besi dan protein dengan infeksi penyakit terutama kecacingan. Maka penanggulangannya adalah dengan memberikan suplementasi zat besi berupa tablet tambah darah dan penanggulangan kecacingan.

Dampak yang ditimbulkan anemia gizi pada anak adalah kesakitan dan kematian meningkat, pertumbuhan fisik, perkembangan otak, motorik, mental dan kecerdasan terhambat, daya tangkap belajar menurun, pertumbuhan dan kesegaran fisik menurun serta interaksi sosial kurang. Keadaan ini tentu memprihatinkan bila menimpa anak-anak Indonesia yang nantinya akan menjadi penerus pembangunan. Oleh karenanya, seluruh komponen bangsa (pemerintah, legislatif, swasta dan masyarakat) bertanggung jawab memenuhi hak-hak anak yaitu kelangsungan hidup, pertumbuhan dan perkembangan serta perlindungan demi kepentingan terbaik anak sebagaimana termaktub dalam UU No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak.

Sementara itu kebutuhan dasar anak untuk tumbuh dan berkembang meliputi pemenuhan kasih sayang dan perlindungan, makanan bergizi seimbang (sejak lahir sampai 6 bulan hanya ASI saja, 6 bulan – 2 tahun ASI ditambah makanan pendamping ASI). Selain itu, anak-anak juga perlu imunisasi dan suplementasi kapsul vitamin A, pendidikan dan pengasuhan, perawatan kesehatan dan pencegahan kecacatan dan cedera serta lingkungan yang sehat dan aman.

Dalam acara seminar sehari ini hadir pula para pembicara pakar diantaranya Prof. Dr. Sutaryo dari IDAI membahas Prospek Intervensi Gizi Mikro pada Pertumbuhan dan Perkembangan Anak, Dr. Adi Sasongko dari Yayasan Kusuma Buana mengangkat topik Penangulangan Anemia Berbasis Sekolah Dasar, dan perwakilan dari Dinkes DKI Jakarta yang memaparkan Status Anemia Gizi Murid SD / MI Di Lima Wilayah Kota di DKI Jakarta.